Tuesday, May 24, 2011

Midnight For Charlie Bone

Charlie Bone sama hebatnya dengan Harry Potter? Hmm...tunggu dulu! Biarpun endorsement dari Goodreads mengatakan begitu, aku tak setuju. Midnight For Charlie Bone ini memang jelas terinspirasi oleh dan mirip dengan Harry Potter, namun cara bertutur Jenny Nimmo di buku ini jelas-jelas sangat jauh bila dibandingkan dengan J.K. Rowling. Yang membuat kisah petualangan fantasi itu bagus, adalah bila pembaca bisa dibuat (sejenak) percaya bahwa apa yang terjadi di kisah itu adalah apa yang ia alami/lihat sendiri. Itu artinya, walau kisah itu fantasi, pembaca merasa seolah-olah kisah itu wajar, sewajar apa yang terjadi di sekitar kita. Lalu, mengapa Charlie Bone ini dibilang mirip dengan Harry Potter? Mari kita intip cerita singkatnya...

Keluarga Bone jelas bukan keluarga yang normal. Charlie, si bocah lelaki, dan ibunya tinggal seatap bersama kedua nenek Charlie yang hampir sama nyentriknya. Maisie adalah nenek dari pihak ibu yang periang dan pintar memasak. Sebaliknya Nenek Bone, nenek dari pihak ayah Charlie, adalah wanita tua yang cemberut, suka memerintah dan suka mengeluh. Si Nenek punya 3 orang saudara perempuan yang sama nyentrik dengannya. Suatu hari Charlie menemukan keanehan pada dirinya. Ketika memandang sebuah foto milik orang lain (yang tertukar dengan foto Runner Bean -- anjing milik sahabatnya, Benjamin), Charlie tiba-tiba dapat mendengar suara dalam otaknya. Suara itu adalah suara orang-orang di foto saat foto itu diambil. Keanehan ini tercium oleh Nenek Bone yang juga anggota keluarga Yewbeam yang "diberkahi". Dari kemampuan khusus Charlie itu, nenek Bone akhirnya memaksa Charlie untuk keluar dari sekolahnya saat itu, dan pindah ke Bloor's Academy, akademi untuk mereka yang "diberkahi".

Benjamin, sahabat sekaligus tetangga Charlie yang sering kesepian karena tak punya teman dan sering ditinggal pergi orang tuanya, sedang berulang tahun. Charlie, satu-satunya sahabatnya, ingin memberikan hadiah berupa foto Runner Bean yang akan ia jadikan kartu ucapan. Sayangnya, ketika ibunya mengambil foto itu dari tempat cuci cetak di toko buku Ingelsdew, foto itu tertukar dengan foto orang lain, dari mana Charlie menyadari kemampuan khususnya. Ingin menukar foto tersebut, Charlie pergi ke Ingledew, dan disambut oleh pemiliknya: Julia Ingledew, yang menceritakan kisah yang menarik. Kisah keponakan perempuannya yang anak seorang ilmuwan bernama Dr. Tolly, dan terpaksa ditukar ayahnya dengan sebuah “kotak misterius”. Ketika Charlie pulang, ia tak hanya membawa foto Runner Bean miliknya, tetapi juga kotak misterius itu, yang lantas disembunyikannya bersama Benjamin dengan rapi.

Tak sedetikpun Charlie menyadari bahwa kotak itu akan membawanya pada petualangan yang seru, tegang dan berbahaya. Untungnya ia tak sendirian. Selain Benjamin, ia memiliki Fidelio, seniornya di Bloor’s Academy yang mengajarinya musik, sekaligus membantunya menyembunyikan kotak misteriusnya. Lalu ada Paman Paton, satu-satunya keluarga Yewbeam yang berada di pihak Charlie. Oh ya, keluarga Ingledew termasuk Nenek Bone ternyata mengincar kotak misterius Charlie. Bukan dia saja, Manfred Bloor –putra Dr. Bloor pemilik Bloor’s Academy yang punya keahlian menghipnotis, juga meminatinya. Charlie tahu, bahwa tugas untuk menemukan kembali putri Dr. Tolly terletak di tangannya. Dan dari pertemuannya dengan Mr. Onimous yang nyentrik bersama tiga kucing apinya, Charlie pun tahu bahwa yang dicarinya kini berada di Bloor’s Academy.

Di Bloor’s Academy inilah satu persatu jawaban misteri yang dibawa Charlie muncul. Salah satunya bahwa ayahnya masih hidup entah di mana, dan bahwa sang ayah dulu telah berjuang menyelamatkan putri Dr. Tolly. Dibantu oleh Olivia dan Fidelio, teman-temannya di academy, Charlie pun memulai misi untuk menyelamatkan putri Dr. Tolly, dan “menyadarkannya” dari pengaruh hipnotis Manfred Bloor lewat kotak misterius yang didapatnya dari Julia Ingledew.

Misi penyelamatan ini dan segala pengalaman baru berada di sebuah sekolah khusus seperti Bloor’s Academy ini yang membuat buku ini dapat dinikmati dan cukup menghibur. Dibantu oleh penempatan huruf-huruf yang cukup besar dan berspasi agak renggang oleh penerbit Ufuk, membuat buku ini enak dibaca. Dan kalau anda adalah seorang pembaca yang menganut "judge a book from its cover", anda jelas akan meminati buku bercover nuansa kilap dan bernuansa misterius ini. Hanya sayangnya, kurasa kehidupan sehari-hari di Bloor’s Academy kurang dieksplor oleh Jenny Nimmo. Tak seperti Hogwarts yang membuat kita sangat mengenal suasana sekolah seolah kita sendiri pernah bersekolah di sana, Bloor’s Academy masih terasa asing bagiku meski telah menamatkan bagian pertama ini. Namun, bagaimana pun kisah Charlie Bone memang ingin menyuguhkan sesuatu yang lain. Mungkin saja kekuatan cerita akan semakin mengental di seri-seri berikutnya, karena si Raja Merah yang misterius dan sepertinya menjadi benang merah serial ini masih harus terungkap, dan ayah Charlie pun masih menunggu entah di mana untuk diselamatkan oleh putranya yang juga “diberkahi”.

Satu hal yang kutangkap dari kisah ini, bahwa menjadi berbeda [baca: memiliki kelebihan atau kekurangan] memang dapat membuat seseorang menderita. Namun semuanya kembali kepada kita, bagaimana kita memandang keunikan kita itu. Karena Sang Pencipta kita pasti menambahkan keunikan itu agar kita dapat memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik. Keunikan menjadi kekurangan kalau kita menjadi minder, namun ia menjadi kelebihan kalau kita menggunakannya untuk menolong sesama. Seperti halnya Charlie Bone!

Judul: Midnight for Charlie Bone
Penulis: Jenny Nimmo
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: November 2010
Tebal: 412 hlm

Thursday, May 19, 2011

The Beach House

Walau tetap tak bisa disandingkan dengan sang maestro thriller-hukum: John Grisham, tetap saja James Patterson patut diacungi jempol untuk terobosannya di novel The Beach House ini. Sejak awal, narasi Patterson sudah terasa nikmat untuk dibaca. Sepertinya misteri sudah mulai dibangun sejak saat si tokoh “aku” datang terlambat ke sebuah pesta musim panas kaum elite di beach house mewah milik keluarga Neubauer. Menunggangi motor sport BMW, tentulah kita mengira si “aku” adalah salah satu bocah kaya yang gemar pesta. Namun, kejutan pertama telah dipasang Patterson di akhir prolog: si “aku” ternyata hanyalah seorang petugas valet di pesta itu! Petugas valet tunggangannya motor BMW??

Kejutan kedua. Si “aku” yang ternyata bernama Peter dan berjuluk “Rabbit” punya “pekerjaan” sampingan yang berhubungan dengan orang-orang kaya dan berpengaruh. Pekerjaan sampingannya tidak hanya membuat Peter kaya dari bayaran atas “jasa”nya, namun juga celaka. Pada malam pesta itu, mayatnya ditemukan di pantai dalam keadaan babak belur…

Cerita kini berpindah ke tokoh “aku” lainnya, yang bernama keluarga sama: Mullen. Kali ini si “aku” adalah Jack, kakak kandung Peter. Jack sedang magang di sebuah biro hukum besar. Saat pulang ke rumahnya di Montauk, East Hampton, Jack disambut dengan kabar buruk kematian Peter. Seolah kehilangan kakak masih kurang buruk, kepolisian tampaknya mengabaikan fakta-fakta yang menunjukkan keganjilan pada mayat Peter. Malahan kasus kematian Peter dianggap sebagai kecelakaan atau bunuh diri, dengan modus Peter nekat berenang di laut berombak keras, lalu tenggelam dan mayatnya terhempas ke pantai dalam keadaan babak belur.

Sadar bahwa pengaruh kekayaan sedang berusaha menutup-nutupi fakta bahwa Peter dibunuh, membuat Jack bersama Mack kakeknya, dan beberapa sahabatnya berusaha mencari keadilan. Sepak terjang mereka tercium oleh si pembunuh, dan beberapa ancamanpun ditebarkan. Yang terparah adalah ketika saksi kunci bagi kubu Mullen dalam persidangan tiba-tiba mengubah kesaksiannya. Jack pun menyadari peliknya situasi mereka. Keadilan telah dibeli dan melacurkan diri. Apakah yang mungkin dilakukan oleh orang-orang lemah seperti keluarga Mullen? Haruskah mereka menyerah kalah, padahal perlahan-lahan bukti demi bukti telah mereka dapatkan?

Membaca The Beach House sedikit menggelorakan emosi kita akan ketidak adilan hukum bagi orang lemah. Ketidak adilan itu selain diwakili oleh pembunuhan Peter, juga oleh vonis hukuman mati bagi “Mudman”, yang kasusnya ditangani oleh Jack sebagai kasus pro-bono sewaktu magang di biro hukum. Orang lemah dan kecil sering kali diremehkan oleh sistem. Mungkin karena keberadaan atau ketidakberadaan mereka dianggap tak punya pengaruh apapun pada dunia. Di sinilah Jack Mullen mencoba untuk menjadi pahlawan, meski untuk itu ia harus mempertaruhkan segalanya.

Meski greget pengadilan dan hukum kurang terasa di sini, namun The Beach House tetap menawarkan sesuatu yang lain. Gabungan antara intrik-intrik hukum, ketidak adilan, romansa, juga percikan misteri di sana sini mampu menyuguhkan bacaan yang tak terlalu berat namun tetap membuat penasaran hingga lembar terakhir!

Judul: The Beach House (Rumah Pantai)
Penulis: James Patterson, Peter De Jonge
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Oktober 2009
Tebal: 416 hlm

Monday, May 16, 2011

The Last Samurai: Official Movie Guide

Di tengah pekatnya kabut putih yang melayang-layang di sebuah hutan, sepasukan tentara sedang bersiap-siap... Kapten Algren meneriakkan perintah dari atas kudanya. Ketegangan tampak pada wajah-wajah Asia di bawah topi tentara mereka... Lalu tiba-tiba...dari kesunyian yang mencekam itu terdengar lamat-lamat sesuatu yang bergemuruh dari kejauhan, dan kian mendekat... Ditingkahi teriakan yang gemanya seolah terpantul pada pohon-pohon, lalu melayang-layang bersama kabut... Sesuatu yang menakutkan sedang mendekat, dan itu terpancar dari kengerian yang terpancar dari wajah-wajah tentara yang memucat.... Dan akhirnya muncullah satu persatu sosok-sosok manusia bertopeng dengan dua tanduk di kepala, mengendarai kuda yang berlari cepat ke arah para tentara. Sedetik kemudian, pasukan berkuda itu membantai pasukan yang mungkin bahkan tak sempat melakukan serangan saking ngerinya...


Itulah sekilas adegan yang selalu menempel di otakku dari sebuah film epik yang sangat apik: The Last Samurai. Itu adalah adegan ketika para samurai menghabisi tentara Jepang yang dilatih oleh Kapten Algren (diperankan Tom Cruise). Tulisan ini bukan untuk mengisahkan kembali tentang film itu, namun aku ingin mengulas sekaligus mengabadikan isi sebuah buku yang amat menarik: The Last Samurai-Official Movie Guide. Buku ini merupakan pendamping film The Last Samurai. Selain berisi foto-foto eksklusif berwarna dengan ketajaman gambar yang sempurna (berkat David James, sang fotografer), Official Movie Guide ini juga memunculkan tulisan dan riset tentang sejarah Jepang yang melatar belakangi film ini, juga tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan film, serta penjelasan tentang samurai dan cara hidup mereka. Ditambah petikan dialog-dialog yang singkat namun dalam maknanya di beberapa scene film. Sangat menarik!

The Last Samurai bersetting tahun 1876-1877 pada saat Jepang di bawah pemerintahan Kaisar Meiji yang saat itu masih sangat muda. Selama 250 tahun sebelumnya, Jepang adalah negara yang mengisolasi diri dari dunia luar, yang dikenal dengan istilah sakoku. Di bawah tekanan Amerika, akhirnya Jepang pada tahun 1854 menandatangani perjanjian perdagangan dengan Amerika, sekaligus membuka diri bagi perdagangan internasional. Pada tahun 1868 Saigo Takamori yang menjadi inspirasi terciptanya tokoh Katsumoto di film ini, merestorasi takhta kekaisaran Meiji yang tadinya diduduki oleh para shogun. Namun Saigo dan para samurai ingin tetap mempertahankan nilai-nilai leluhur mereka, sedang pemerintahan yang baru ingin berubah dan mengadopsi cara-cara Barat. maka rezim Meiji akhirnya mendesak keberadaan para samurai dengan melarang penggunaan pedang (yang menjadi "jiwa" seorang samurai) yang dianggap penghinaan oleh para samurai. Maka mereka akhirnya memberontak kepada pemerintah. Dan di sinilah kisah The Last Samurai itu lantas dibuat....

Adalah Nathan Algren, seorang kavaleri berpangkat Kapten yang baru saja pulang dari medan perang sebagai pahlawan. Ia terlibat dalam pemusnahan suku Indian di Gettysburg. Perang terhadap suku Indian ini juga diambil dari sejarah, dan "pahlawan"nya juga berasal dari kavaleri ke 7, seperti halnya tokoh Nathan Algren. Dalam keadaan trauma karena perasaan bersalah harus membantai para Indian, Algren lalu direkrut oleh Jendral Omura dari rezim Meiji untuk melatih tentara Jepang demi membasmi pemberontakan kaum Samurai yang dipimpin Katsumoto. Senjata api didatangkan, para petani dan rakyat dilatih untuk menjadi tentara. Namun, jumlah mereka yang banyak tentu bukan tandingan para samurai. Dan dalam pertempuran yang tak seimbang di hutan seperti yang kugambarkan di awal tulisan ini, para tentara akhirnya kalah, entah mati, terluka atau mundur. Dan lihatlah...satu-satunya yang bertahan adalah sang Kapten Algren. Sudah terluka, ia tetap bertahan dengan gagah berani sendirian, sambil membawa tombak berbendera harimau putih. Aksinya ini menarik perhatian sang pemimpin samurai, Katsumoto, yang bertambah kekagumannya setelah Algren berhasil membunuh seorang samurai berbaju perang warna merah berkat kecerdikannya. Algren pun dibawa oleh rombongan para samurai kembali ke desa mereka yang terletak di atas pegunungan sunyi nan asri.

Di sanalah Algren lalu mulai belajar ilmu bermain pedang ala samurai yang berpusat pada pengosongan pikiran, sambil mengenal budaya Jepang sekaligus Samurai yang disiplin dan menjunjung tinggi kehormatan bahkan di atas nyawa. Luka-lukanya dirawat oleh seorang wanita jelita bernama Taka, yang adalah adik Katsumoto sekaligus istri samurai berbaju perang merah yang telah dibunuh Algren. Maka cinta pun bersemi di antara dua anak manusia yang awalnya (dan seharusnya) dipenuhi dengan dendam. Aku begitu kagum pada cinta Algren-Taka ini, seperti yang diulas juga di Official Movie Guide ini: "Algren and Taka's relationship is a very unique love story. They are people from two different worlds who make contact in very subtle ways--through looks and through gesture." Dan ini makin membuat cinta mereka nampak begitu agung dan sakral. Di tempat tinggal samurai ini pula Algren dan Katsumoto menjadi makin dekat karena mereka memiliki pandangan yang sama serta menjunjung tinggi nilai-nilai yang sama.


Ketika akhirnya saat yang tak dapat dielakkan tiba, yaitu ketika para samurai harus berhadapan dengan pasukan perang pemerintah yang dipersenjatai meriam dan senapan dari Barat, maka Algren pun menjadi salah satu dari para samurai ini. Adegan Taka yang memakaikan pakaian perang pada Algren menjadi salah satu adegan percintaan yang paling menggetarkan yang pernah kutonton... Dari buku ini pula aku jadi lebih memahami percintaan Algren-Taka. Awalnya Taka memang membenci Algren karena ia telah membunuh suaminya. Ia merawat Algren semata-mata karena perintah kakaknya. Dan dendam itu serasa terpuaskan ketika menyaksikan Ujio membuat Algren babak belur saat berlatih di bawah derai hujan. Ujio yang awalnya tak suka pada Algren memang tak tanggung-tanggung melatih Algren. Namun, sifat pantang menyerah dan keberanian Algren membuatnya berkali-kali bangun lagi meski sudah kesakitan. Saat itulah dendam Taka berubah menjadi simpati sekaligus kagum pada kegigihan Algren. Kurasa saat itulah benih-benih cinta mulai tumbuh di hatinya...

Itulah sekilas film The Last Samurai, yang mungkin sudah pernah anda tonton juga. Tapi, pernahkah anda menyadari bagaimana sulitnya memproduksi sebuah film epik seperti ini? Buku ini menjelaskan semuanya. Anda pasti tak percaya kalau kukatakan bahwa pembuatan film diadakan di 3 negara di 3 benua yang berbeda: Jepang, Amerika, dan New Zealand. Untuk lokasi pegunungan tempat tinggal Katsumoto dan para samurai, petugas bagian setting menemukan sebuah lanskap di New Zealand yang indah. Meski begitu, butuh sekitar 6 minggu untuk menanami beberapa tumbuhan dan pohon agar lanskap tersebut terlihat sangat alami dan sesuai dengan keadaan pada abad 19 itu. Sedangkan suasana kota Tokyo abad 19 (yang notabene hanya muncul beberapa menit saja di film) menggunakan sebuah area di New York yang didandani sehingga persis bagaikan Tokyo masa lalu. Saking detail dan profesionalnya cara kerja kru film, sehingga orang-orang Jepang yang terlibat di film jadi teringat kampung halaman mereka di masa kecil. Yang berarti...mereka telah berhasil menciptakan setting yang sempurna!

Belum lagi bagian-bagian lain seperti kostum, yang harus menyediakan kostum kimono hingga baju perang samurai yang persis dengan aslinya. Ada yang menarik tentang kimono. Tahukah anda bahwa semua kimono harus dibuat dari bahan berukuran sama: panjang 12-13 meter, lebar 36-40 meter, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Kain itu akan dipotong menjadi 8 bagian, lalu dijahit dengan teknik tertentu, bagaikan origami untuk pakaian! Pengadaan senjata dan pelatihan kuda juga sama menariknya. Pedang samurai dibuat dari kombinasi baja dan besi yang lebih lentur untuk menghasilkan bagian tajam dari pedang yang sangat keras sehingga tak mudah patah saat beradu pedang dengan musuh. Caranya ialah dengan proses folding, di mana logam dipanaskan pada temperatur tinggi, lalu dipalu hingga terlipat separuh, lalu dipanaskan lagi hingga permukaannya menyatu kembali.

Aku sempat tersenyum saat membaca tentang pelatihan kuda. Anda mungkin berpikir, hanya kuda-kuda yang ditunggangi pemeran utama yang perlu dilatih. Jawabnya: tidak. Semua kuda yang ada di setting film itu dilatih secara khusus. Bahkan kuda-kuda latar, yakni kuda-kuda yang ambruk dalam peperangan, misalnya. Bayangkan, melatih kuda untuk mau berbaring selama beberapa menit dalam diam seolah mati pasti sulitnya setengah mati. Bagaimana kalau ia tiba-tiba ingin berdiri lagi? Tentu tindakan alamiahnya itu akan mengacaukan pengambilan film! Maka selama 6 minggu kru melatih kuda-kuda itu hingga terbiasa berbaring diam-diam selama beberapa menit. Dan setelah itu mereka justru harus bekerja keras kembali untuk membuat kuda-kuda itu mau berdiri lagi. Mungkin kuda-kuda itu jadi berpikir: "Eh..enak juga ya ternyata berbaring santai begini..."

Selain itu upacara minum teh yang menjadi salah satu ciri khas budaya Jepang juga dijelaskan singkat di buku ini. Upacara minum teh adalah salah satu kebiasaan para samurai demi mendapatkan ketenangan. Adalah seorang bernama Eisai yang dulu menemukan obat penenang, yaitu dengan minum teh. Maka Eisai menciptakan proses pembuatan teh dengan mencampurkan bubuk matcha (daun teh hijau) ke dalam air mendidih, lalu mengaduknya dengan chasen (pengaduk berbahan bambu) sampai larutan itu sedikit berbuih. Bukan saja tehnya membuat tubuh menjadi tenang, tapi kegiatan mengaduk itu sendiri dengan suara yang monoton, memiliki efek yang menenangkan. Akhirnya berkembanglah ritual minum teh ini dan menjadi budaya Jepang yang disebut cha-no-you (upacara minum teh).

Itulah sekilas beberapa hal menarik yang kusarikan dari Official Movie Guide The Last Samurai ini. Nilai-nilai yang dianut oleh samurai menurutku adalah yang paling menarik di film ini dan membuatnya sangat istimewa. Samurai yang gagal menunaikan tugasnya, akan lebih suka mati terhormat oleh musuhnya, atau oleh dirinya sendiri. Mungkin anda sering mendengar tentang harakiri atau bunuh diri ala Jepang. Sebenarnya harakiri adalah istilah vulgar yang dipopulerkan justru oleh orang Barat. Para samurai menyebut ritual membunuh diri secara terhormat ini dengan seppuku. Tekniknya adalah menusuk bagian perut dengan tanto (belati). Mengapa perut? Karena mereka percaya jiwa manusia berada di sana, dan seppuku dilakukan untuk membebaskan jiwa. Seppuku sebagai hukuman resmi dihapus pada 1868 setelah Restorasi Meiji.

Semoga ulasan panjang tentang film The Last Samurai dan sejarah samurai serta budaya Jepang ini cukup menghibur dan memberi wawasan baru bagi anda. Sekaligus anda akan terhibur dengan foto-foto yang kupilih dari sekitar 150 foto yang ada di buku ini. Maaf, ada beberapa gambar yang terpotong karena sulit untuk men-scan halaman-halaman tertentu tanpa merusak buku yang amat kusayangi ini. Akhirnya, aku akan mengutip beberapa dialog antara Algren dan Katsumoto yang singkat namun amat bermakna. Persahabatan mereka adalah persahabatan sejati yang dibangun tanpa banyak kata, namun dalam diam pun mereka dapat saling memahami dan saling mempercayai. Sama halnya dengan percintaan Algren dan Taka...

Katsumoto: "You believe a man can change his destiny?"

Algren: "I think a man does what he can, until his destiny is revealed."

----

Katsumoto: "...And you do not fear death?"
"But sometimes you wish for it. Is this not so?"

Algren: "Yes"

Katsumoto: "I, also. And then I come to this place of my ancestors. And I remember...[looks around to the blossoms] like these blossoms, we are all dying. To know life in every breath. Every cup of tea. Every life we take. The way of the warrior."

Algren: "...Life in every breath..."

Katsumoto: "That is bushido*."

*Bushido: The Way Of The Warrior, the way of samurai

Dan last but not least, kukutip juga pernyataan Kaisar Meiji ketika menerima dari Algren, pedang milik Katsumoto yang telah tewas dalam perang yang dilancarkan oleh sang Kaisar sendiri. Akhirnya, sikap Algren dan kematian Katsumoto yang penuh kehormatan itu membuka mata sang Kaisar akan nilai-nilai leluhur yang hendaknya tetap dijunjung tinggi, meski arus modernisasi terus membanjir:

"I have dreamed of a unified Japan. Of a country strong and independent and modern... And now we have railroads and cannon and Western clothing. But we cannot forget who we are. Or where we come from..."

Wednesday, May 11, 2011

Persekutuan Misterius Benedict

Siapa di dunia ini yang paling mengerti tentang makna "kesepian"? Pastilah para anak yatim piatu yang tak sempat mengecap kasih orang tua, entah karena ketiadaan orang tua, atau karena pengabaian orang tua akan anaknya. Kesepian macam inilah yang dirasakan Reynard Muldoon alias Reynie, bocah lelaki jenius yang tinggal di sebuah panti asuhan di kota Stonetown, yang gemar berdiskusi sambil minum teh bersama pembimbingnya: Miss Perumal. Suatu hari mereka berdua menemukan iklan aneh mengenai sebuah tes di surat kabar yang bunyinya begini: 'Apakah kau seorang anak berbakat yang mencari kesempatan istimewa?'. Berbekal iklan itu, berangkatlah Reynie ke tempat tes itu dilaksanakan, tanpa menyadari bahwa tes itu akan mengubah hidupnya yang membosankan selama ini.

Dari beberapa tes yang diadakan, Reynie berhasil lolos bersama dengan 2 anak lainnya: Kate Wetheral dan George "Sticky" Washington. Mereka bertiga, seperti semua anak yang mengikuti tes, memiliki tingkat kepandaian di atas rata-rata. Sticky misalnya, adalah pembaca cepat. Ia bisa membaca dan menghafal isinya luar kepala dalam waktu amat cepat. Kate lebih pandai dalam hal fisik dan banyak akal karena ia pernah bergabung bersama rombongan sirkus. Reynie sendiri memiliki kemampuan analisa yang bagus dan wawasan luas karena senang membaca koran dan berdiskusi. Bagaimana pun juga, mereka bertiga memang anak-anak yang unik. Mereka sama-sama memiliki bakat unik, dapat dikategorikan jenius, dan memiliki karakter jujur (dibuktikan lewat tawaran "menyontek" yang ternyata ditampik oleh ketiga anak yang mengikuti tes). Belakangan, ada seorang anak lagi yang bergabung dengan mereka, yaitu Constance Contraire. Hmm...sulit mengatakan dengan pasti bakat anak kecil (memang bertubuh amat kecil) yang bandel dan keras kepala ini. Namun kenyataannya, keempat anak ini direkrut oleh seorang ilmuwan nyentrik dan baik hati bernama Mr. Benedict, yang mengadakan tes itu.

Mr. Benedict memiliki sebuah misi menyelamatkan dunia dari pengaruh "pesan-pesan rahasia" yang dikirimkan oleh sebuah institut lewat gelombang televisi. Tujuannya untuk mengacaukan otak manusia, sehingga si pemilik institut yang serakah dan jahat itu akan mampu menguasai dunia. Menurut Mr. Benedict hanya anak-anaklah yang mampu menghentikan pengiriman pesan itu, karena anak-anak jugalah yang dipakai sebagai pengirim pesan. Tentu saja, untuk menggagalkan misi institut itu, dibutuhkan lebih dari sekedar anak-anak, melainkan anak-anak yang sangat berbakat. Reynie, Sticky, Kate dan Constance adalah empat anak berbakat yang dipilih Mr. Benedict. Misi mereka adalah untuk menyelusup ke Institut LIVE (Learning Institute of the Very Enlightened) untuk menjadi murid di sana, sekaligus mata-mata bagi Mr. Benedict.

Di LIVE, ternyata ada strata bagi para murid. Para murid yang mendapat nilai paling baik di kelas berpeluang diangkat penjadi Penyampai Pesan. Dan suatu saat para Penyampai Pesan ini bisa juga menjadi Eksekutif. Apa yang harus dilakukan Penyampai Pesan maupun Eksekutif? Tentu saja membantu Mr. Curtain, pendiri sekaligus pemimpin LIVE, yang berambisi mengubah wajah dunia dengan keahliannya. Untuk menghentikan misi jahat itu, anak-anak Persekutuan Misterius Benedict harus pasang mata dan telinga mengamati semua yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka mengadakan rapat di kamar anak-anak lelaki setiap malam. Dan bila mereka mengalami kesulitan, mereka bisa mengirim pesan ke Mr. Benedict dengan menggunakan kode Morse. Tentu saja semua ini tidak berlangsung dengan mulus. Ada kalanya rapat mereka nyaris ketahuan oleh para Eksekutif, atau pesan jawaban yang mereka terima dari Mr. Benedict begitu sulit dipecahkan. Sepanjang waktu itu, anak-anak tanpa sadar selalu menggantungkan pada keputusan dan pemikiran Reynie, yang terbukti mampu menjadi sosok pemimpin, sekaligus merupakan sosok yang paling aku sukai. Reynie adalah sosok pahlawan yang sejati menurutku, bukan pahlawan yang selalu percaya diri, mampu bekerja sendiri, selalu berani dan selalu menang. Namun justru pahlawan yang juga merasa sama takutnya dengan yang lain, dan mengakui ketakutan itu dan kebutuhannya akan teman-teman yang lain. Sikap Reynie yang membesarkan hati Sticky si penakut, dengan mengatakan bahwa Reynie sangat membutuhkan Sticky. Tak banyak pemimpin yang mau mengakui hal semacam ini karena takut dianggap lemah dan khawatir direndahkan oleh anak buahnya. Padahal, justru sikap semacam itulah yang membuat anak buah menaruh respek pada pemimpinnya. Sebuah contoh yang baik bagi anak-anak yang membaca buku ini.

Banyak kejadian lucu sekaligus tegang selama geng pahlawan kita ini menyamar di institut. Anda pasti paling tidak tersenyum waktu membaca saat Constance yang kemana-mana harus digendong di punggung Kate dengan mengomel, atau tiap kali Mr. Benedict tiba-tiba tertidur setelah tertawa karena ia menderita Narcolepsy (serangan tidur lelap yang tiba-tiba dan tak dapat dikendalikan, salah satu penyebabnya adalah adanya emosi yang kuat). Anda juga akan ikutan terkekeh puas saat teman sekelas mereka yang bernama Martina jatuh terjerembab saat dikerjai dengan sukses oleh Kate. Tapi yang jelas, anda pasti akan ikut merasa tegang saat petualangan anak-anak ini telah berada di tahap akhir dan mereka harus menyerempet bahaya sungguhan, bukan hanya bahaya kecil macam ketahuan menyontek. Apalagi saat dua dari mereka harus berhadapan dengan “Sang Pembisik”. Siapa atau apa itu Pembisik? Dan bahaya apa tengah mengintai ke empat pahlawan cilik kita? Berhasilkah mereka dalam misi yang mereka emban? Lebih baik (dan pasti lebih seru) kalau anda menuntaskan sendiri kisahnya. Karena bagaimanapun, kisah petualangan hanya bisa dinikmati secara langsung kan? Tapi moga-moga saja sekilas reviewku ini bisa menerbitkan setitik air liur anda untuk membaca buku petualangan setebal 574 halaman ini…

Judul: Persekutuan Misterius Benedict (The Mysterious Benedict Society)
Pengarang: Treton Lee Stewart
Penerbit: Matahati
Cetakan: Februari 2009
Tebal: 574 hlm

Monday, May 2, 2011

Remember When

Kalau kisah percintaan itu hanya soal apakah 2 orang insan saling mencintai atau salah satunya bertepuk sebelah tangan, mengapa begitu baaanyaak kisah roman yang dibuat selama berabad-abad? Jawabnya, karena ada begitu baanyaak juga konflik yang dapat terjadi di dalamnya. Love is often complicated, right? Tapi ada alasan lain selain masalah konflik itu (karena meski banyak macam konflik yang bisa terjadi, kalau karya roman sudah mencapai jutaan, pasti kisah-kisahnya akan jadi klise kan lama-lama?). Alasan lain itu adalah gaya bertutur dan cara penulisan seorang pengarang. Buku Remember When ini sebenarnya juga salah satu buku yang menyajikan cerita percintaan yang biasa-biasa saja menurutku, apalagi tokoh-tokohnya adalah anak-anak SMU. Awalnya aku agak skeptis apakah aku tak akan berhenti di tengah jalan sebelum menamatkan membaca buku hasil buntelan dari Gagas Media ini? Namun, ternyata buku ini memiliki kekuatan lain yang mampu mengimbangi kisah roman yang itu-itu saja, yaitu dari segi penulisannya.

Winna Efendi adalah salah seorang penulis Indonesia yang namanya mulai menanjak karena cara penulisannya. Kisah cinta ABG yang biasanya terkesan picisan, bisa menjadi indah lewat tangan Winna. Remember When ini ditulis dari sudut pandang tokoh-tokohnya. Sehingga saat anda membacanya, anda akan seolah-olah mengintip beberapa diary anak-anak SMU dalam urutan kronologis, sehingga akhirnya anda akan mendapatkan keseluruhan ceritanya lengkap dengan perasaan masing-masing individu yang terlibat di dalamnya.

Tokoh utama di buku ini adalah Freya, Gia, Andrian, Moses dan Erik. Semuanya siswa SMU di sekolah yang sama, namun dengan karakter yang berbeda-beda. Untuk mengenal karakter masing-masing tokoh, anda tinggal membaca saja lembar demi lembar buku ini, karena lewat penuturan masing-masing tokoh, anda akan mengenal mereka sekaligus mengikuti alur ceritanya. Freya telah kehilangan ibu semenjak kecil dan yang menjadikannya introvert. Namun ia berotak cemerlang meski berpenampilan amat sederhana. Freya pacaran dengan Moses, sang ketua OSIS yang juga murid paling bersinar dan doyan belajar. Cara berpacaran Freya dan Moses yang kaku meliputi: belajar bersama, hunting buku di toko buku bekas, nongkrong di perpustakaan. Sedangkan Gia dan Andrian yang juga berpacaran adalah pasangan “selebriti” sekolah mereka. Andrian tampan, atletis dan jago basket. Sementara Gia adalah kembang sekolah yang paling banyak penggemarnya dan punya hobi melukis. Erik adalah sahabat sejati Freya yang paling mengerti cewek ini, dan yang sesungguhnya diam-diam naksir Gia.

Begitulah mulanya… Sampai suatu saat salah satu dari mereka mendapat musibah, kehilangan orang tua yang dikasihi. Sejak saat itu, atau mungkin memang sudah berbenih sebelumnya, ia merasakan cinta yang lain. Dan ternyata cinta itu tak bertepuk sebelah tangan. Karena ternyata cinta itu memang bisa berubah, tatkala si manusianya juga berubah. Dan sebuah musibah cukup dapat membuat seorang manusia berubah. Cinta ternyata bukan hanya tumbuh karena kecocokan hobi dan bahan obrolan saja, tapi lebih jauh lagi, cinta mampu terbit karena ada pemahaman yang sama. Dan celakanya, cinta juga bisa datang kapan saja, tak peduli ketika kita sedang merajut cinta dengan orang lain. Bahkan ketika cinta itu berpotensi meluluhlantakkan sebuah persahabatan dengan kejamnya.

Kedewasaan Freya, Andrian, Moses dan Gia akan teruji saat hati mereka semua sakit. Apakah kebahagiaan diri sendiri layak untuk diperjuangkan kalau untuk mendapatnya mereka harus mengorbankan kebahagiaan yang lain? Apakah cinta layak diperjuangkan kalau harus mengorbankan persahabatan? Keempat sahabat itu akhirnya harus menentukan pilihan masing-masing. Apapun pilihan mereka pada akhirnya, perjalanan yang telah mereka lalui semasa SMU layak menjadi kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. Sehingga suatu saat nanti ketika mereka telah dewasa, mereka dapat menatap foto mereka bersama sambil mengingat saat itu, remember when…

Winna Efendi telah berhasil merangkum kisah cinta yang biasa-biasa saja menjadi enak untuk dinikmati. Bahkan sinopsis buku ini pun tertulis dengan begitu indahnya:

“Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.

Bagi kita, senja selalu sempurna; bukankah sia-sia jika menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan dia, juga kisahku, aku dan lelakiku. Tak ada bagian yang perlu kita ubah. Tak ada sela yang harus kita isi. Bukankah takdir kita sudah jelas?

Lalu, saat kau berkata, “Aku mencintaimu”, aku merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katamu itu ambigu? Atau, aku saja yang menganggapnya terlalu saru?

“Aku mencintaimu,” katamu. Mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kau kalau kita tak pernah bisa berada dalam cerita yang sama, dengan senja yang sewarna?

Takdir kita sudah jelas. Kau, aku, tahu itu.”


Judul: Remember When
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: 2011
Tebal: 248 hlm